Revolusi Mental sebagai Materi Kampanye Presiden 2014 |
Mengerasnya sentimen primordial, ancaman disintegrasi sosial, akhir-akhir ini menunjukkan Revolusi Mental belum tertanam dalam pribadi masing-masing warga. Tertangkapnya Bupati Klaten menambah rentetan perilaku koruptif dan kerakusan kekuasaan yang juga menunjukkan rendahnya integritas pejabat yang semestinya bagian yang dituju oleh Revolusi Mental. Pembunuhan dengan penyekapan sadis di Pulomas juga potret gamblang terbengkalainya mentalitas pelaku. Belum lagi di jagad maya yang disesaki berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) juga menguatkan ketidakhadiran Revolusi Mental dalam keseharian. Jadi, sederhananya Revolusi Mental sebagai sebagai political value belum merasuk sukma bangsa Indonesia, dari atas hingga bawah. Maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa Revolusi Mental masih terbengkalai, belum menjadi perhatian serius pemerintah Jokowi-JK. Padahal political value merupakan faktor penting, guidance yang menggerakkan seluruh komponen bangsa.
Dokumen “Peta Jalan Gerakan Nasional Revolusi Mental 2015-2019” yang dihasilkan “Pokja Revolusi Mental-Menko PMK” disebutkan bahwa GNRM membidik aspek terpenting yang menentukan perilaku manusia yaitu karakter personal dan budaya yang meliputi sistem nilai, sistem pengetahuan dan sistem perilaku yang membentuk karakter kolektif.
Sebagai suatu gerakan, Revolusi Mental dimaksudkan untuk menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala (Soekarno, 1957). Revolusi Mental harus dimulai dari diri sendiri yang kemudian meluas di lingkungan keluarga, komunitas, masyarakat luas, dan selanjutnya mencakup seluruh komponen bangsa.
Namun sayangnya, secara legal formal, Jokowi baru menerbitkan payung hukum Revolusi Mental dalam bentuk Inpres 12/2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental pada 6 Desember 2016, bayangkan! Pasca 2 tahun pemerintahan Jokowi, Revolusi Mental baru mendapatkan kerangka legalistik. Artinya, kerja-kerja nyata untuk program pewujudan Revolusi Mental dari pusat hingga daerah baru di mulai.
Kepemimpinan, Keteladanan dan Konsistensi
Kita dapat belajar Revolusi Mental dari negara-negara tetangga kita. Park Chung-hee, Presiden Korsel, 47 tahun lalu mengukir legacy membawa Korsel seperti sekarang ini, menciptakan Jaebol – raksasa penggerak ekonomi Korea – sehingga Korea dapat duduk sejajar dengan negara-negara maju terutama dalam hal teknologi dan industri kreatif. Presiden Park Chung-hee sadar betul, pasca Korsel luluh lantak akibat perang maka tidak ada pilihan lain kecuali bekerja ekstra keras. Karenanya nilai-nilai kerja keras, kerja cepat (pali-pali), dispilin dan mandiri (self help) menjadi pondasi Revolusi Mental di Korsel. Padahal, tahun 1970-an, atau sekitar 40-an tahun lalu, kondisi Korsel masih sama, bahkan lebih buruk dari kita. Korea Selatan dan Indonesia sama-sama negara bekas jajahan Jepang, sama-sama miskin dan tertinggal. Namun Korsel melaju cepat pada abad milenia ini, menjelma menjadi negara maju dan modern dengan Pendapatan Per Kapita 7 kali lipat dari kita. Pendapatan kotor per kapita Indonesia sebesar US$ 3.580 dan Korsel sudah mencapai $ 25,920 (2014). Artinya, hari ini kemakmuran rakyat Korea Selatan 7 kali lipat lebih tinggi dari rakyat Indonesia. Selain itu, indeks Rasio Gini Indonesia yang mencapai 0,41% mengindikasikan adanya ketimpangan distribusi pendapatan yang sudah sangat tinggi.
Kepemimpinan kuat membawa Korea melompat jauh dalam waktu yang relatif singkat. Mereka sadar bahwa dalam realitas geopolitik yang terhimpit diantara negara-negara besar, China, Jepang dan Rusia, menjadikan Korsel memacu pembangunan SDM untuk dapat unggul dari negara-negara jirannya. Presiden Park secara konsisten menanamkan nilai-nilai yang sampai hari ini menjadi darah daging masyarakat disana. Konsistensi kebijakan menjadi kunci kesinambungan nilai sehingga terinternalisasi menjadi etos kerja dan mentalitas orang Korea.
Deng Xiaoping (1978) dengan slogan ‘bukan soal putih atau hitamnya bulu kucing, tapi dapatkah dia menangkap tikus! membenamkan ekonomi Tiongkok ke gelanggang kapitalistme global dengan tetap berpolitik tangan besi di bawah partai tunggal PKC. Hasilnya, Tiongkok sekarang menjadi raksasa ekonomi dengan pertumbuhan rata-rata 9% per tahun (Rahman Arge, 2008). Di masa pemerintahan Deng Xiaoping-lah yang mengenalkan kebebasan berkarya, berinovasi dan ber-entreprenuership maka tidak heran bila sekarang ini tidak kurang 4 juta perusahaan swasta yang menggenjot ekonomi China.
Meiji Ishin (restorasi Meiji) gerakan pembaharuan dipelopori Kaisar Mutsuhito/Kaisar Meiji 1,5 abad lalu (1869) juga satu contoh yang Revolusi Mental masyarakat Jepang dengan nilai-nilai rela berkorban (sonpi), rasa memiliki (shouzokukan), budaya malu (hajino bunka), budaya rasa bersalah (tsumino bunka) (Benedict, 1979).
Sejarah bangsa-bangsa di sekitar kita sudah membuktikan bahwa kepemimpinan yang kuat, keteladanan dan konsistensi menjadikan nilai-nilai yang diyakini mampu membawa kemajuan bangsanya mampu terealiasi, bukan menggantung dalam wacana.
Titian Legacy pemerintahan Jokowi
Nawacita dan Revolusi Mental sepatutnya akan menjadi titian legacy pemerintahan Jokowi-JK apabila dilakukan secara serius. Patut diingat bahwa setiap rezim politik akan diingat publik melalui legacy yang ditinggalkan. Dari sejarah berdirinya Negara Indonesia, Soekarno (1945 – 1965) telah menggariskan nilai-nilai yang merupakan hasil pergulatan pemikiran para pendiri bangsa yang dikenal dengan “Trisakti.” Gagasan Trisakti dicetuskan pada pidato hari Kemerdekan RI 17 Agustus 1964, dengan judul “tahun Vivere Pericoloso – hidup dalam situasi penuh bahaya”. Gagasan Soekarno ini berangkat dari realitas dunia pada saat itu, dimana dalam pemikiran Soekarno terhadap eksistensi bangsa Indonesia, Indonesia harus dapat berdiri kokoh dengan berpegang pada prinsip “Trisakti” yakni berkedaulatan dalam politik, berkemandirian ekonomi dan berkepribadian dalam budaya Indonesia. Inilah legacy Presiden Soekarno.
Melalui jargon Orde Baru kemudian dikenal dengan “trilogi pembangunan” sebagai political value rezim Orba yang diturunkan menjadi program kerja lima tahunan yang disebut Pelita – Pembangunan Lima Tahunan -. Trilogi Pembangunan merupakan political value rezim Soeharto yang digunakan sebagai landasan penentuan kebijakan politik, ekonomi, dan sosial dalam pembangunan Negara. Trilogi pembangunan terdiri dari: 1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; 2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan; 3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Konsep trilogi pembangunan ala Soeharto ini berkait satu dengan lainnya, dimana kuncinya adalah pada stabilitas politik dengan asumsi yang dibangun tatkala itu adalah bahwa pemerataan ekonomi tidak bakal tercapai tanpa pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi tidak mungkin dilakukan apabila stabilitas politik tidak mendukung. Maka, terlepas dari kontroversinya, inilah legacy-nya presiden Soeharto.
Pada masa Orde Baru juga dikenalkan apa yang disebut GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara), yakni political guidance yang digunakan rezim Orde Baru untuk mengindoktrinasi nilai-nilai yang mendukung pencapaian visi dari rezim tersebut. Penanaman nilai-nilai politik dilakukan rezim Orba dengan apa yang dinamakan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dimulai 1978, proses indoktrinasi sistemtik ideologi pembangunan Orde Baru yang dilakukan oleh BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Sedangkan agen yang secara institusional dibangun untuk mendorong apa yang dinamakan Feith dan Castles “developmentalis integralis” yaitu pembangunan ekonomi yang mengkaitkannya dengan stabilitas, keamanan dan keserasian sosial adalah Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) (Feith dan Castles, 1988).
Reformasi 1998 merupakan tonggak baru dalam perpolitikan Indonesia. Habibie, presiden ke-3 yang hanya berkuasa 1,4 tahun setelah 2 bulan menjadi Wakil Presiden mengawal transisi demokrasi Indonesia pasca rezim otoriterisme Soeharto. Indonesia memasuki babak baru, demokrasi sebagai pilihan politik bangsa Indonesia. Lompatan kuantum diyakini sebagai nilai yang harus dimiliki rakyat Indonesia untuk mengejar keterpurukan pasca krisis ekonomi 1998 yang kemudian menjadi legacy BJ Habibie. Pada Era Habibie dibuka kebebasan pers dan pendirian partai politik yang selama masa sebelum dikekang lebih dari 32 tahun semasa presiden Soeharto.
KH Abdurahman Wahid, dikenal dengan Gus Dur, seorang pemimpin ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdatul Ulama (NU), merupakan tokoh pluralisme dan kemanusiaan dan mewakili wajah modernitas kalangan “santri sarungan” sebutan untuk kalangan NU. Pada masa pemerintahan rezim Gus Dur inilah kemudian hak-hak minoritas, warga Tionghoa di Indonesia dipulihkan dan agama yang dianut mereka diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Gus Dur meletakkan kembali nilai-nilai pluralisme yang sudah lama dilupakan dalam masyarakat Indonesia yang multietnis. Selain itu, nilai politik yang diwariskan Gus Dur adalah menegakkan supremasi sipil di atas militer dengan mengembalikan TNI sesuai tugasnya atau dikenal dengan sebutan “tentara kembali ke barak” yang pada dasarnya menghapuskan dwi fungsi ABRI – sebutan TNI pada masa Orde Baru – yang menjadi salah satu penopang Orde Baru.
Demikian juga dengan Megawati, presiden RI ke-5 dan perempuan pertama kali ini mewariskan nilai-nilai demokrasi dan politik desentralisasi. Pada masa pemerintahan Megawati Undang-Undang Otonomi Daerah (1999) disahkan dan Indonesia menjalankan politik desentralistik bukan lagi sentralistik. Demokrasi pilihan langsung menjadi nilai politik yang diwariskan oleh rezim Susilo Bambang Yudhoyono – dikenal dengan sebutan SBY -. Pada masa SBY inilah pemilihan langsung dilakukan hingga sekarang mulai dari Pilpres, Pileg hingga Pilkada. Oleh karena itu, pada dasarnya political value yang ditanamkan pemerintahan SBY berupa demokrasi dan penguatan sistem desentralisasi.
Saatnya sekarang inilah Jokowi, melalui Nawacita dan Revolusi Mental merupakan jembatan penitian bagi pemerintahan Jokowi untuk menggembleng mentalitas bangsa Indonesia dan tidak lagi terbengkalai.
Wawan Fahrudin
Staf Ahli DPD-RI
(Tulisan ini merupakan pendapat pribadi)
0 komentar:
Posting Komentar